Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya. perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut, akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.
Dalam
pernikahan ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Salah satunya adalah
kerelaan calon isteri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu
kepada calon isteri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diaqad nikahkan.
Perkawinan merupakan pergaulan abadi antara suami isteri. Kelanggengan,
keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak
calon isteri belum diketahui. Islam melarang menikahkan dengan paksa,
baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya. Akad nikah
tanpa kerelaan wanita tidaklah sah. Ia berhak menuntut dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut (Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah jilid 7).
Perjodohan
yang dilakukan orang tua untuk anak, hanyalah salah satu jalan untuk
menikahkan anaknya itu dengan seseorang yang dianggap tepat menurut
mereka. Padahal tepat menurut orang tua belum tentu tepat menurut sang
anak. Orang tua boleh-boleh saja menjodohkan anaknya dengan orang lain,
tapi hendaknya tetap meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar
pernikahan yang dilaksanakan nantinya berjalan atas keridhoan
masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Karena pernikahan yang dibangun
di atas dasar keterpaksaan adalah harom hukumnya, dan jika terus
berlanjut, hanya akan mengganggu keharmonisan dalam berumah tangga
anaknya kelak.
Dan orang tua, hendaknya tidak semena-mena terhadap anak. Jangan karena anaknya enggan menerima tawaran dari orang tua, lalu mengatakan kepada anaknya bahwa dia adalah anak yang durhaka, jangan! Tapi hendaknya orang tua harus memahami kondisi psikologis sang anak dan harapan akan jodoh yang diidamkannya. Sebab bila dilihat dari pertimbangan-pertimbangan syar’i, hak-hak anak sangat diperhatikan. Islam datang untuk memfasilitasi antara hak-hak dan kewajiban seorang anak untuk menikah tanpa sama sekali melepaskan peran orang tua di dalamnya.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak
boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan
tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin
darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui
izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136
dan Muslim no. 1419)