Para pelajar harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun. Seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad atau berjuang sungguh-sungguh untuk mencari (keridhaanku), maka benar-benar Aku akan tunjukkan mereka kepada jalan-jalan menuju keridhaan-Ku.” Dikatakan barangsiapa bersungguh-sungguh mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Dan siapa saja yang mau mengetuk pintu, dan maju terus, tentu bisa masuk.
Dengan kadar sengsaramu dalam berusaha kamu akan mendapat apa yang kamu dambakan. Dikatakan bahwa belajar dan memperdalam ilmu fiqih itu dibutuhkan adanya kesungguhan dati tiga orang, kesungguhan murid, guru, dan ayah bila masih hidup.
Ustadz Sadiduddin mengalunkan syair gubahan Imam Syafi’i kepadaku, “Kesungguhan itu dapat mendekatkan sesuatu yang jauh, dan bisa membuka pintu yang terkunci. Sungguh sangat banyak orang yang bercita-cita luhur bersedih, karena diuji dengan kemiskinan. Barangkali sudah menjadi suratan takdir dan keputusan Allah, bahwa banyak orang cerdas tapi miskin dan banyak orang bodoh yang kaya raya. Dan kedua hal tersebut tidak bisa dikumpulkan.”
Penyair lain berkata, “Kamu ingin menjadi orang ahli fiqih, tapi tak mau sengsara, itu artinya kamu gila. Mencari harta pun tidak akan berhasil tanpa kerja keras, dan harus tahan menghadapi penderitaan. Begitu juga mencari ilmu tidak akan berhasil tanpa kerja keras (sengsara).”
Abu Thoyyib berkata, “Sungguh naif orang yang mampu berusaha tapi tak mau berusaha secara optimal.”
Pelajar tidak boleh banyak tidur pada malam hari. Seperti dikatakan dalam syair, “Kemuliaan itu akan tercapai menurut kadar kesengsaraan. Barangsiapa ingin mencari kemuliaan, maka harus meninggalkan tidur malam. Kamu ingin kedudukan tinggi tapi kamu enak-enak tidur pada malam hari. Padahal orang yang mencari permata pun harus menyelam ke dalam lautan. Derajat yang luhur itu seiring dengan cita-cita yang luhur. Orang yang memperoleh kedudukan tinggi karena ia berjaga malam. Aku tidak tidur di waktu malam, ya Tuhanku, demi mencari keridhaanmu Ya Tuhan yang menjadikan seseorang menjadi tuan. Siapa ingin kedudukan tinggi tapi tidak mau kerja keras, itu artinya dia menyia-nyiakan usia. Mengharap sesuatu yang mustahil. Maka tolonglah kami, ya Allah, dalam mencari ilmu dan tempatkanlah kami ke puncak kedudukan yang luhur.” Para pelajar harus menggunakan waktu malam untuk belajar dan ibadah, supaya memperoleh kedudukan tinggi di sisi-Nya.
Penyusun kitab ini berkata: Bagiku, cukup menarik makna syair yang berbunyi, “Barangsiapa ingin meraih apa yang dicita-citakan, maka ia harus menjadikan waktu malamnya sebagai kendaraan untuk mengejar cita-citanya. Jangan banyak makan agar kamu tidak ngantuk. Hal itu jika anda benar-benar ingin menggapai kesempurnaan.”
Ada yang berkata bahwa mengurangi tidur malam untuk beribadah itu menggembirakan hati di siang hari.
Pelajar harus mengulang-ulang pelajarannya pada awal malam dan akhir malam. Yaitu antara Isya’ dan waktu sahur, karena saat-saat tersebut diberkati.
Seorang penyair berkata, “Wahai para penuntut ilmu hiasilah dirimu dengan sifat wara’ (menjauhi barang syubhat), jauhilah tidur, kurangilah makan, dan tekunlah belajar.”
Para pelajar harus memanfaatkan masa mudanya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Perhatikan bait syair ini, “Dengan kadar kerja kerasmulah kamu akan diberi apa yang menjadi cita-citamu. Orang yang ingin sukses, harus sedikit mengurangi tidur malam. Gunakan masa mudamu sebaik-baiknya, karena masa muda adalah kesempatan yang tidak akan pernah terulang.”
Seorang pelajar tidak boleh terlalu memaksa diri hingga melebihi kekuatannya. Karena akan melemahkan tubuhnya, sehingga tidak mampu bekerja karena terlalu lelah. Mencari ilmu itu harus sabar. Pelan-pelan tapi terus-menerus, sabar inilah pokok yang penting dari segala sesuatu.
Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah bahwa agama ini kukuh (banyak tugas), maka terlibatlah dalam urusan agama dengan pelan-pelan dan janganlah kamu buat dirimu bosan beribadah kepada Allah, karena orang yang mematahkan kendaraannya, tidak akan bisa menempuh perjalanan, bahkan akan kehilangan kendaraannya.”
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Badanmu adalah tungganganmu, maka kasihanilah padanya.”
Pelajar harus bercita-cita tinggi, sebab orang itu tinggi derajatnya karena memang ia bercita-cita tinggi. Cita-cita itu ibarat sayap burung yang dipergunakan untuk terbang tinggi-tinggi. Abi Thayib berkata: “Kedudukan seseorang itu tergantung menurut cita-citanya. Dan kemuliaan akan tergapai oleh seseorang kalau cita-citanya tinggi dan mulia. Pangkat yang tinggi akan terasa berat meraihnya bagi orang yang berjiwa kerdil. Tapi bagi orang yang berjiwa besar, setinggi apapun sebuah kedudukan, dianggap kecil atau ringan.”
Modal paling pokok ialah kesungguhan. Segala sesuatu bisa dicapai asal mau bersungguh-sungguh dan bercita-cita luhur. Barangsiapa bercita-cita ingin menguasai kitab-kitabnya Imam Muhammad bin Al Hasan, asal disertai dengan kesungguhan dan ketekunan, tentu dia akan menguasai seluruhnya, paling tidak sebagian.
Jika ada yang bercita-cita ingin pandai, tapi tidak mau bersungguh-sungguh dalam belajar, tentu dia tidak akan memperoleh ilmu kecuali sedikit.
Syaikh Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya, Makarimul Akhlak bahwa raja Zulqurnain ketika hendak pergi untuk menguasai Timur dan Barat, terlebih dahulu dia berunding dengan orang-orang yang bijaksana, dia berkata, “Bagaimana aku harus pergi untuk mengejar kedudukan ini, sementara dunia ini amat sedikit dan segera sirna, dan kerajaan dunia, menurutku sangat remeh, dan bukan tergolong cita-cita yang luhur.” Orang-orang yang bijaksana itu berkata, “Pergilah supaya kamu memperoleh kerajaan dunia dan akhirat.” Dia menjawab, “Jika demikian, baiklah.”
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah itu mencintai sesuatu yang luhur atau tinggi dan membenci sesuatu yang rendah.” Dikatakan oleh seorang penyair, “Janganlah kamu tergesa-gesa ingin mencapai sesuatu tapi cobalah terus bersabar (ulet), karena sabar itu ibarat api yang dapat melunakkan tongkat dari besi.”
Dikatakan: Abu Hanifah berkata kepada Abi Yusuf, “Kami memang bodoh tapi itu bisa kamu usir dengan terus-menerus belajar. Jauhilah sifat malas, sebab malas itu sumber keburukan dan kerusakan yang amat besar.”
Syaikh Abu Nashr Ash-Shaffar berkata dalam syairnya, “Oh jiwaku… oh jiwaku, jangan menunda amal saleh, berbuat adil, dan berbuat ihsan, semua orang yang berbuat kebaikan akan senang, sebaliknya orang pemalas berada dalam bencana dan kesialan.”
Syair tersebut semakna dengan perkataan Imam Mushannif, “Wahai jiwaku, tinggalkanlah bermalas-malasan dan menunda-menunda, supaya kamu tidak menetap di dalam kehinaan. Aku tidak melihat bagian yang diberikan kepada para pemalas kecuali penyesalan karena gagal meraih cita-cita.”
Dikatakan: “Penderitaan, kelemahan, dan penyesalan yang diderita manusia sering timbul dari rasa malas. Oleh karena itu, jauhilah rasa malas, dan membicarakan hal-hal yang tidak jelas.”
Disebutkan: Sungguh sifat malas itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap keutamaan dari pentingnya ilmu. Oleh karena itu, pelajar harus berpayah-payah dalam menuntut ilmu.
Karena ilmu itu kekal, sedang harta benda akan sirna. Sebagaimana dikatakan Ali bin Abi Thalib ra, “Aku senang menerima pemberian Tuhan Maha Perkasa. Kita diberi ilmu, dan musuh-musuh kita (orang-orang kafir) diberi harta benda. Karena harta akan segera sirna, sedang ilmu itu abadi takkan pernah hilang.”
Ilmu yang bermanfaat akan tetap dikenang sekalipun orang yang berilmu itu meninggal, karena ilmu yang bermanfaat itu abadi. Syaikh Murghinan berkata dalam sebuah syair, “Orang bodoh hakikatnya mati sebelum mati, dan orang yang berilmu tetap hidup sekalipun sudah mati.”
Az-Zarnuji. (2009). Terjemah Ta’lim Muta’allim. Surabaya: Mutiara Ilmu.